Iklan

google.com, pub-9195817467890296, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Minggu, 22 Juni 2014

Solusi Pendidikan Karakter

“Beribadahlah kamu seakan-akan kamu melihat Allah. Jika kamu tidak sampai kepada upaya itu, maka sekurang-kurangnya rasakanlah bahwa Allah itu Melihat kamu.” (H.R. Muslim)
Persoalan bangsa yang dihadapi pada era sekarang ini adalah hilangnya jati diri bangsa. Dampak nyatanya yaitu munculnya wacana berupa stigmatisasi bahwa negeri pertiwi ini tidak memiliki karakter yang jelas. Wacana  tersebut semakin  dibenarkan dengan berbagai fakta yang mengungkapkan adanya masyarakat yang kurang arif terhadap lingkungan disekitarnya. Oleh karenanya, perlu dikaji rumusan untuk menemukan jati diri bangsa itu sendiri.
Salah satu cara yang paling tepat dalam menanggapi hal ini adalah aspek pendidikan. Saat ini pendidikan sangat digembor-gemborkan dengan urgensi pendidikan karakter. Namun hal tersebut belum terealisasi pada saat ini. Padahal pentingnya pendidikan karakter sudah dirasakan beberapa tahun belakangan. Oleh karena itu, diperlukan formulasi konkrit agar wacana ini tidak “mengambang di angkasa”.
3 Komponen, Tak dapat Dipecah
Pada  umumnya  kita  selalu  menghubungkan   kata  ihsân  dengan  kata  baik, sebagaimana  tertulis di kamus bahasa  Arab. Jika ihsân di sana diartikan  baik, maka muhsin adalah orang yang baik. Hal tersebut tidaklah salah. Akan tetapi jika kita memaknai ihsân hanya dengan  pemaknaan baik, sesungguhnya  terdapat sesuatu hal yang terlewatkan. Mengapa demikian? Pada hakikatnya ketika kita membahas tentang ihsân maka secara otomatis kita juga membahas tentang iman dan Islam.
Ihsân merupakan salah satu dari tiga komponen yang dapat membentuk al-Dîn kita.   Tiga   komponen   tersebut   memang   sudah   menjadi   rukun   dalam   rangka menjalankan agama. Jika satu komponen saja tidak ada, atau tidak paham, maka sesungguhnya kita belum beragama dengan (secara) sempurna. Hal ini bagaikan segi tiga yang tidak bisa saling dipisahkan. Oleh karena itu sudah menjadi keharusan kita untuk selalu berbuat ihsân kepada siapa saja.
Perlu diketahui bahwa ihsân adalah aktualisasi dari iman dan Islam. Karenanya, maka  kedudukan  ihsân  dalam  membentuk  al-Dîn  lebih  tinggi  derajatnya  dibanding iman dan Islam. Walaupun ketiga komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dalam kenyataannya, trilogi pendidikan (keluarga, sekolah dan masyarakat)  biasanya  hanya  mengunggulkan  iman  dan  Islam  saja  tanpa diaktualisasikan  lebih  dalam  dengan  ihsân.  Jika  ketiganya  memiliki  keterkaitan  dan sama pentingnya, apakah kita sudah memiliki ketiganya?
Ihsân dalam Konteks Pendidikan
Dalam ranah edukasi (pendidikan),  ihsân sangat erat kaitannya, bahkan  sama artinya, dengan kata“afektif”. Sama halnya dengan ihsân, afektif-pun akan berbicara tentang  kebaikan  yang  bersumber  dari  hati.  Oleh  karenanya  pendidikan  karakter berbasis Ihsân sama halnya dengan pendidikan hati. Sebagaimna kita ketahui bahwa hati adalah pusat untuk bertindak. Jika hati kita baik maka sikap kita secara otomatis akan menjadi baik. Begitu pula sebaliknya.
Jika demikian, bagaimanakah dunia pendidikan di Indonesia saat ini? Apakah sudah  mencipatakan  lulusan  yang  baik  dengan  hati  terdidik?  Jika  kita  mengkaji sejenak, sebenarnya apa yang menghambat terwudnya penerapan pendidikan karakter terhadap  peserta  didik?  Permasalahan  ini  terjadi  karena  tidak  ditemukannya  solusi yang tepat dalam menjawab persoalan tersebut. Selain dari pada itu, berbicara tentang karakter pastinya berbicara pada ranah afektif (hati). Maka wajar jika hal tersebut sulit untuk diterapkan.
Padahal   sebagaimana   yang   telah   dipaparkan   oleh   Ki   Hajar   Dewantara, “Pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya.” Tawuran pelajar, tawuran antar kampung, terorisme, korupsi, dan matinya toleransi hanyalah sedikit contoh hasil pendidikan Indonesia. Jika saat ini intelektualitas masih saja diagungkan dalam pendidikan dan masyarakat, maka sesungguhnya Indonesia tinggal menunggu waktu saja menjadi Negara penjarah, yang lekas pula menjadi suatu bangsa yang binasa. Tentu kita tidak menginginkannya.
Kemudian,  disadari  atau  tidak,  sistem  kelulusan  dalam  Sekolah  dasar  (SD) hingga  Sekolah  Menengah  Atas  (SMA)  yang  dibangun  pemerintah  sangatlah  jelas hanya mementingkan aspek kognitif sa(ha)ja. Perlu diketahui, Ki Hajar Dewantara menyatakan  hal  ini  jauh  sebelum  Bloom  hadir  dengan  “afektif,  psikomotrik,  dan afektif”. Ia mengungkapkan bahwa seorang siswa haruslah dibangun dengan tiga landasan dasar: yaitu, cipta, rasa, dan karsa. Pendidikan yang mengabaikan aspek rasa dan  karsa  hanya  menghasilkan  seorang  ilmuwan  “sakit”.  Realita  yang  terjadi  di Indonesia pun demikian. Betapa banyak orang “pinter” namun tidak berkarakter. Korupsi dilakukan orang pinter, anggota dewan pinter namun tidak beretika. Tidur di waktu rapat paripurna adalah contohnya.
Fakta-fakta   tersebut  telah  cukup  memberi  gambaran  bahwa  saat  ini  arah pendidikan   kita   telah   menghilangkan   berbagai   macam   karakter   dasar   bangsa Indonesia. Dahulu gotong royong adalah harga mati, namun kini masyarakat acuh tak acuh dengan lingkungan sekitar mereka. Inilah akibat dari pendidikan yang tidak berpacu  pada  konsep  ihsân  (kebaikan  hati).  Hal  tersebut  dibuktikan  dengan  tidak sedikit gedung-gedung tinggi hidup berdampingan dengan gubuk reyot. Dan ironisnya, tidak ada interaksi sama sekali di antara mereka untuk saling tolong menolong dan yang ada malah tindakan monopoli dan eksploitasi dari pihak yang berkuasa.
Lucunya di Perguruan Tinggi (PT) penilaian afektif terhadap mahasiswa tidak ada sama sekali. Orientasi yang dilakukan hanyalah seberapa besar anda menguasai suatu mata kuliah yang diberikan oleh dosen. Indeks Prestasi (IP) adalah faktor tunggal menentukan kelulusan seseorang. Oleh karenanya, hanya ada satu kalimat yang bisa terungkap, “Sungguh ironis melihat Perguruan Tinggi tanpa aspek afektif.” Seharusnya Perguruan Tinggi memiliki porsi yang paling besar dibandingkan sekolah dari sisi afektifnya. Hal ini karena Perguruan Tinggi adalah panggung utama perjalanan pendidikan seseorang.
Ihsânlah adalah Solusinya
Membentuk  karakter  warga  negara  adalah  cita-cita the  founding  father  kita. Tujuan  pendidikan  di  Indonesia  adalah  untuk  menumbuhkan  sikap  keindonesian. Hasil yang ingin dicapai adalah jati diri Indonesia. Seperti yang dicita-citakan pemuda Indonesia  dalam  Sumpah  Pemuda  1928  dalam  kalimat,  “Kami  putra  dan  putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.”Demi mewujukan cita- cita the founding father tersebut, tentu kita tidak akan mengabaikan aspek afektif dalam mendidik   seseorang.   Pendidikan   yang   melibatkan   cipta,   rasa,   dan   karsa   akan melahirkan peserta didik yang berkarakter.
Semua itu dapat terwujud jikalau pendidikan afektif diterapkan mulai Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Pendidikan afektif diharapkan dapat memberikan rasa keberagaman dalam kehidupan peserta didik sebagai anggota masyarakat. Dengan terbentuknya   kepedulian   etika   dan   kepekaan   estetika,   berarti   anak   didik   akan mengakui kehidupan  yang multidimensi dan tidak seragam demi terwujudnya  jiwa gotong royong yang telah menjadi karakter dasar bangsa Indonesia. Semoga Indonesia dapat menerapkan pendidikan kareakter berbasis ihsân sebagai langkah untuk menjadikan diri kita menjadi manusia muhsin. Âmîn. Wallâhu a’lamu bi ash-shawâb.

Tidak ada komentar: